Ceritanya awal-awal merantau saya seperti orang yang “demam” perantauan. Tidak dipungkiri orang-orang Bali yang merantau banyak yang sukses. Saya ingat dulu ketika ada persembahyangan di pura maka mobil-mobil bagus akan berderet panjang sekali. Suasana persembahyangan di rantau pun terkesan lebih tertib. Namun tidak jarang kemudian saya dengar orang Bali di perantauan tersebut kemudian menyindir saudara-saudaranya yang tinggal di Bali karena membuat sesajen yang terkesan terlalu ribet. ”Kalau disini, di rantau lebih sederhana saja, Dik, yang penting niatnya tulus,” begitu kata mereka.
Saya pun jadi ikut-ikutan berpandangan seperti itu. Saat pulang ke Bali semua saya komentari. Ibu kemudian saya cecari dengan banyak protes, kenapa kok melakukan ini-itu, kenapa repot-repot bikin ini-itu, bikin sesajen yang super ribet. Sudah, pakai canangsari (salah satu bentuk sesajen yang paling sederhana) saja. Itupun saya maunya beli di pasar Badung biar tidak repot. Ibu saya kemudian dengan tenang menjawab "Orang ibuk suka kok, yeee, ibuk saja tidak berat kenapa kamu yang repot? Kenapa kamu yang sewot (wot..wot..wot..)? Memang nya kamu ada ibu suruh buat apa? Orang ibuk happy kok menjalaninya. Sudah jalani saja apa yang kamu yakini dan berikan ibu kesempatan menjalani apa yang ibu yakini." Saya pun terhenyak dan sadar seketika bahwa cara bersyukur itu bisa diungkapkan dengan berbagai "rasa". Jika kita berbicara Agama Hindu di Bali maka "rasa" itu sangat kental adanya. Berbicara tentang agama Hindu di Bali sangat susah dipisahkan atau dipilah-pilah mana yang agama dan mana yang budaya, ibarat darah yang mengalir dalam tubuh. Namun itulah adanya, perpaduan itulah yang membuat budaya Bali menjadi mekar,unik, dan eksotis sehingga bisa terkenal ke mancanegara.
Di Bali "rasa" itu dituangkan dalam berbagai bentuk sarana, ritual, kesenian, dan lain-lain. Jika tingkat spiritualitas kita sudah tinggi maka sarana atau ritual bukan lagi masalah. Kenapa harus repot-repot? Langsung saja menghadap langit dan mengucap rasa syukur. Betul? Akan tetapi yang perlu dicermati dengan bijak adalah orang menjadi dewasa pada "waktu" yang berbeda dan dengan "cara" yang berbeda. Mungkin kebetulan ada orang yang tingkat spiritual nya kebetulan dewasa dengan lebih cepat sehingga sarana yang dibutuhkan sangat sederhana atau bahkan tidak perlu sama sekali. Jika menghadap langit tanpa sarana dengan langsung mengucap syukur yang anda sukai dan rasanya itu paling cocok bagi anda maka lakukanlah itu. Selamat anda sudah bebas akan kerepotan menyiapkan sarana atau bebas dari kerepotan melakukan ritual.
Akan tetapi apakah salah jika saya lebih suka memakai udeng (ikat kepala khas orang Bali), berpakaian ribet, memetik bunga, membuat sesajen (baca tulisan tentang Benarkah Bali Pemuja Berhala), dan menjalani ritual-ritual yang ribet. Saya suka dan saya happy kok menjalani itu, mengapa kemudian orang lain jadi ribet. Jika seandainya nanti anda kemudian lebih cepat bertemu dengan Tuhan maka saya ucapkan selamat, sampaikan salam saya bahwa saya memilih untuk menyusul dengan lambat. Sekali lagi orang dewasa pada waktu yang berbeda dan dengan cara yang berbeda. Itulah hidup, ada banyak jalan mencapai kedewasaan.
Jika ribet bukan masalah dan tidak ribet juga bukan masalah lalu yang salah apa dong?
Pertama, yang salah dengan orang Bali saat ini adalah yang suka ribet menyalahkan yang tidak mau ribet dan yang tidak mau ribet pun juga menyalahkan yang ingin ribet (tuh kan kalimatnya pun jadi ribet).
Biarkanlah orang memilih jalan nya masing-masing yang menurut mereka paling cocok bagi dirinya. Jika rekan yang jnana (pengetahuan agama) nya tinggi melihat rekan yang jnana nya kurang maka apa yang kiranya bisa dibantu (memberikan saran, ilmu, dll) maka silahkan bantu. Jangan cuma suka menghujat dan sekedar menunjukkan ego atau pamer kepintaran. Terutama yang dari rantau, jangan begitu pulang ke Bali langsung salahkan ini-itu, pokoknya semua salah, mrajan (tempat ibadah keluarga) mau dibongkar saja (wih, berat jika urusan nya sudah begitu). Bisa jadi apa yang tampak salah di mata kita bukan karena itu salah, melainkan akibat pengetahuan kita saja yang terbatas. Teori sains saja tidak ada yang paling benar, pasti akan terus direvisi seiring dengan berjalannya waktu dan sesuai dengan peningkatan pemahaman manusia. Namun di sisi lain jika ada yang merasa tidak nyaman jika harus belajar banyak sastra agama, menghafal banyak sloka, berdiskusi, atau berdebat soal agama. Kemudian memilih untuk hidup damai, hidup penuh rasa bakti untuk mengucap syukur kepada Sang Maha Pencipta dengan cara membuat sesajen maka silahkan lakukan itu. Jangan kemudian memaksa orang yang lebih suka mendalami sastra agama tertulis untuk ikut-ikutan dalam melakukan ritual yang ribet.
Dulu saya seringkali sinis melihat nenek tua yang menghaturkan sesajen di banyak tempat tanpa tahu Tuhan mana yang ia sembah, nenek itu tidak tahu mantra, sloka Veda atau Bhagawad Gita. Jangankan sloka Veda,Tri Sandya saja dia tidak hafal (Tri Sandya adalah mantra umum yang diucapkan orang Bali untuk sembahyang tiga kali sehari pada umumnya). Ia hanya menghaturkan sesajen dengan penuh bakti disertai rasa syukur ke berbagai manifestasi Tuhan menurut pengetahuannya. Seiring dengan berjalan nya waktu saya kemudian berpikir kembali, apa sih salah nya nenek tua itu kepada saya sehingga saya harus berpikir sinis dengan apa yang ia lakukan. Jika memang itu yang membuatnya bahagia, kenapa harus saya larang-larang? Sama halnya ada orang yang suka membuat patung, suka menyanyi, suka ini-itu. Jika ternyata itu yang membuat mereka bahagia kenapa kita harus sewot? Dulu saya sering berpendapat sinis, orang Bali cuma menjalani ritual seperti menjalani rutinitas tanpa tahu filosofinya. Seiring dengan berjalan nya waktu saya tahu jika filosofi nya ternyata ada, saya saja yang tidak tahu sebelumnya. Dulu saya kesal jika mendapat jawaban “Nak mula keto” (memang begitu adanya). Tapi kini saya maklum karena mungkin orang yang saya tanyakan juga tidak tahu jawaban nya dan saya percaya mungkin suatu saat nanti saya akan tahu jawaban nya. Biarlah itu menjadi misteri yang indah sejenak dan nanti semua akan terungkap indah pada waktunya.
Kedua, bagi yang suka ribet maka pastikanlah anda menjalani itu karena anda merasa bahagia menjalaninya serta jalanilah itu sesuai dengan kemampuan anda (tenaga, waktu, finansial, dll).
Jalanilah karena anda memilih itu dan bukan karena dogma orang lain. Jika anda tidak kuat beragama dengan cara ribet atau tidak kuat dengan desa adat anda di Bali, ya sudah, tinggalkan saja ke perantauan atau yang lebih ekstrim “loncat pagar” ke rumah Tuhan orang lain. Biarkan kemudian desa adat itu sadar dengan sendirinya saat banyak warganya yang kabur karena tidak tahan dengan tekanan adat dan segala keribetannya yang terkadang dibuat-buat. Tidak jarang juga pemuka desa adat itu sendiri isinya adalah orang-orang tua yang kolot yang kadang tidak suka melihat orang lain maju. Biarlah sebagian orang Bali sadar kalo rekan-rekan sesama Bali banyak yang memilih “loncat pagar “ karena ulah kita sendiri.
Jalanilah agama, budaya, ritual sesuai kemampuan anda. Saya sangat suka ungkapan Bapak Ketut Sumarta, pimpinan redaksi majalah Sarad, “Panggung nya sudah berbeda maka jangan paksakan tarian yang sama” dalam sebuah film dokumenter Bali Menantang Masa Depan karya IGP Wiranegara. Dahulu kehidupan masyarakat Bali adalah kehidupan agraris (baca BALI Singkatan dari Banyak Libur, Profesionalkah?). Hampir sebagian besar mata pencaharian penduduk Bali adalah petani. Hampir semua punya sawah yang luas dan kebun yang luas. Mereka bekerja secara kolektif, menanam padi secara bersama-sama, dan kemudian memanennya bersama-sama. Mereka punya banyak waktu luang, dimana kasarnya sampai bingung mau diisi dengan apa lagi. Kemudian muncullah ritual, kesenian, dan lain-lain sebagai wujud pengeskpresian diri. Dahulu penduduk jumlahnya sedikit sedangkan makanan melimpah. Pisang di kebun sampai bingung mau diapakan lagi karena sudah banyak ada makanan. Kemudian muncullah sesajen sebagi wujud rasa terima kasih. Sekarang kehidupan sudah berubah, jumlah penduduk meningkat drastis dan pekerjaan sangat bermacam-macam. Tidak banyak lagi yang mempunyai sawah yang luas atau kebun yang luas sehingga semuanya harus dibeli dengan uang.
Darimana mendapat uang? Dengan bekerja dengan orang lain atau berwirausaha. Jika bekerja dengan orang lain tentu tidak bisa seenak perut kita, ada aturan-aturannya seperti jam kerja, cuti atau libur. Tidak sedikit orang Bali hidup dengan penghasilan pas-pasan di zaman sekarang. Oleh karena itu, jalanilah ritual semampu anda sesuai dengan sastra yang ada karena agama Hindu di Bali memberikan pilihan akan hal tersebut. Jangan mau jual tanah, rumah, atau mobil untuk melaksanakan ritual yang berlandaskan gengsi. Memangnya hutang anda nanti tetangga yang bayar? Kalau tidak mampu bilang saja tidak mampu, jika tulus pasti seharusnya orang lain akan mengerti. Berusahalah menerima diri sendiri dengan tulus apa adanya, peduli amat orang lain mau bilang apa. Jangan jual tanah anda dengan alasan untuk melaksanakan upacara, alih-alih lebih baik menjual tanah untuk membiayai anak sekolah atau untuk investasi dalam bentuk lain. Paling baik tentu hidup sejahtera tanpa menjual tanah leluhur sama sekali. Terkadang jual tanah untuk upacara itu hanya alasan untuk hidup foya-foya nantinya. Upacara tidak seberapa tapi jual tanah nya seabrek.
Jika agama atau budaya membuat anda ribet dan tidak bahagia dalam hidup ini, ya buat apa dijalani. Ya sudah tinggalkan saja, begitu saja kok repot, karena yang paling penting dalam hidup ini adalah anda menemukan kebahagian dalam diri anda bukan? Lho kalo bukan kita yang melestarikan budaya Bali lalu siapa? Oke, tentu kita lestarikan semasih kita mampu. Jika tidak lalu mau bagaimana lagi? Anda mau mati pelan-pelan? Apa yang baik zaman dahulu belum tentu baik di zaman sekarang dan apa yang tidak baik di zaman sekarang belum tentu tidak baik di zaman dahulu. Coba pandang masalah dari segala sisi dengan bijak. Setiap generasi memiliki tantangannya masing-masing. Saya sangat setuju jika kita tetap melestarikan budaya, tetapi sesuai ukuran kemampuan kita. Terkadang motif kita cuma ingin melestarikan bisnis pariwisata atau mohon maaf kasarnya melestarikan diri untuk menjadi “kebun binatang” nya turis-turis dan investor. Meskipun itu juga tidak salah jika memang dari sana saja kita bisa makan. Tidak usah terlalu pusing dengan pendapat orang lain. Temukanlah kebahagian yang sejati menurut anda, dalam hidup anda. Toh anda hidup hanya sekali.
Bagaimana orang Bali? Sudahkan PD kah anda? Jika ada yang bertanya dengan sinis, “Ihh, ngapain sih orang Bali buat sesajen super ribet, dasar gila”. Jawab saja dengan santai “Orang saya suka kok melakukan itu, saya happy kok. Kamu saja tidak saya larang-larang untuk percaya ini-itu, melakukan ini-itu, dan jika seandainya nanti anda lebih dahulu bertemu Tuhan maka sampaikanlah salam saya jika saya ingin menyusul dengan lambat saja, peace”.
dikutip dari :http://www.kulkulbali.co/post.php?a=67&t=orang_bali_mengapa_kok_membuat_sesajen_yang_ribet_melakukan_ritual_yang_ribet
Posting Komentar