”Canang sari inggih punika sarin kasucian kayun bhakti ring Hyang Widhi tunggal. Napkala ngaksara kahiwangan-kahiwangan”.- Canang sari yaitu inti dari pikiran dan niat yang suci sebagai tanda bhakti/hormat kepada Hyang Widhi ketika ada kekurangan saat sedang menuntut ilmu kerohanian (lontar Mpu Lutuk Alit).
Berbicara masalah budaya Bali, tidak akan pernah terlepas dari agama Hindu yang dianut mayoritas masyarakat Bali. Dalam suatu konsep agama Hindu dalam mempersiapkan sarana persembahyangan, yang antara lain : air, api, bunga, buah, daun. Dalam budaya Bali, konsep ini kemudian dipraktekkan dalam wujud seni. Salah satunya adalah keanekaragaman bentuk sesajen.
Banten adalah Weda, sama halnya dengan mantra. Ketika umat tidak mampu merapalkan mantra Weda dengan baik, sebagai bentuk bukti syukur umat dapat membuktikannya dengan menghaturkan sesajen atau banten yang baik sesuai dengan ajaran Weda. Melalui banten inilah sebagai penolong manusia menghubungkan antara yang dipuja dengan yang memuja (Rai Sudarta, 2001:58).
Ida Bagus Sudarsana dalam bukunya yang berjudul Himpunan Tetandingan Upakara Yadnya menyebutkan dalam pelaksanaan upacara harus ada tiga unsur yakni bunga, air dan api, maka dalam pelaksanaan upacara kuantitas yang terkecil dari sarana yang dibutuhkan adalah berupa sarana yang merupakan inti atau kanista yang disebut dengan canang
Canang berasal dari dua suku kata “Ca” yang berarti indah dan “Nang” yang diartikan sebagai tujuan yang dimaksud sesuai dengan kamus Kawi/Jawa Kuno (Sudarsana, 2010:1). Sari berarti inti atau sumber.
Dengan demikian maksud dan tujuan canang adalah sebagai sarana bahasa Weda untuk memohon keindahan kekuatan Widya kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta Prabhawa (manifestasi) Nya secara skala maupun niskala. Canang merupakan upakara yang penting bagi umat Hindu khususnya di Bali.
canang sudah umum dipakai sebagai sarana persembahyangan, tetapi masih ada umat yang belum memahami maknanya. Canang dalam bahasa Jawa kuno awalnya berarti sirih, sehingga di Bali ada istilah pecanangan yang isinya sirih, gambir, pamor, tembakau, dan buah pinang.
Di Bali canang disusun menjadi sebuah sarana persembahyangan yang bahan intinya yakni peporosan. Peporosan dibuat dari daun sirih, kapur, gambir dan buah pinang. ''Sirih pada zaman dulu diberikan sebagai penghormatan terhadap para tamu. Bahkan, sampai sekarang sirih memiliki arti penting dalam sebuah upacara di Bali dan juga masih disuguhkan kepada tamu
Karena dalam kesehariannya umat Hindu selalu menghaturkan canang sari sebagai wujud sujud bakti kepada Sang Hyang Widhi. Selain itu canang sari merupakan sarana upakara yang paling sederhana namun sangatlah penting. Dalam Bhagawad Gita IX.26, dikatakan
patram puspam phalam toyam
yo me bhaktya prayacchati
tat aham bhakty-upahrtam
asnami prayatatmanah
Artinya :
siapapun yang dengan sujud bhakti kehadapan-Ku mempersembahkan sehelai daun, sebiji buah-buahan,seteguk air, aku terima sebagai bhakti persembahan dari orang yang berhati suci
Jika dicermati petikan Sloka Bhagawad Gita tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan canang sari merupakan sarana upacara yang sudah cukup lengkap walau dalam skala kecil, karena isi canang umumnya terdiri dari daun,bunga, buah, dan biji yang semua bahan itu memiliki nilai filosofi masing-masing.
Canang dan upakara yang lain merupakan pengejahwantahan Weda yang lahir dari konsep Yadnya, Kata Yadnya berasal dari bahasa Sansekerta yakni Yaj yang berarti korban pemujaan. Jadi, Yadnya berarti korban suci (Made Ngurah, 2005:147). Jenis yadnya dibedakan menjadi lima yang disebut dengan Panca Yadnya yang terdiri dari Dewa Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya, Manusia Yadnya dan Butha Yadnya.
Dalam konteks ritual upacara inilah yang melahirkan konsep upakara. Upakara yaitu bahan atau material yang akan menjadi wujud dalam persembahan itu. Berdasarkan besar kecilnya upakara yang digunakan yadnya dibedakan menjadi tiga yaitu nistha ( tingkat kecil), Madya ( tingkat menengah), Utama ( tingkat besar). Walaupun terbagi menjadi tiga tingkatan namun dari segi kualitas ketiganya tidak ada perbedaan, sepanjang dalam pelaksanaannya didasari dengan ketulusan dan kesucian hati. Begitu pula dengan canang walau merupakan upakara yang paling sederhana dibanding upakara yang lain namun dalam konteks yadnya, canang tetap meupakan pengorbanan suci sebagai wujud syukur dan bakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi. Arti dan makna simbolik itu terkandung baik dari bentuk maupun bahan yang digunakan dalam pembuatan upakara tersebut yang keseluruhannya merupakan simbol-simbol ketuhanan.
Sarana upacara atau bebantenan di Bali, sesungguhnya tidak hanya hiasan belaka. Tetapi, di dalamnya sarat makna simbolis. Pada umumnya, sarana upakara tersebut sebagai media bagi umat untuk menghubungkan diri dengan Sang Pencipta.
Canang sari adalah suatu Upakāra /banten yang selalu menyertai atau melengkapi setiap sesajen/persembahan, segala Upakāra yang dipersiapkan belum disebut lengkap kalau tidak di lengkapi dengan canang sari, begitu pentingnya sebuah canang sari dalam suatu Upakāra /bebanten.
Canang sari dalam persembahyangan penganut Hindu Bali adalah kuantitas terkecil namun inti (kanista=inti). Kenapa disebut terkecil namun inti, karena dalam setiap bebantenan apa pun selalu berisi Canang Sari. Canang sari sering dipakai untuk persembahyangan sehari-hari di Bali. Canang sari juga mengandung salah satu makna sebagai simbol bahasa Weda untuk memohon kehadapan Sang Hyang Widhi yaitu memohon kekuatan Widya (Pengetahuan) untuk Bhuwana Alit maupun Bhuwana Agung.
Tidak itu saja, bahan lainnya seperti ceper yang berbentuk segi empat melambangkan catur purusa artha dan taledan atau tapak dara melambangkan keharmonisan serta uras sari lambang keheningan pikiran atau keteguhan pikiran. ''Jadi canang itu adalah wujud persembahan kepada Tuhan dalam manifestasinya sebagai Tri Murti. Umat memohon anugerah kepada Beliau agar mampu mencapai tujuan hidup yakni catur purusa artha dengan selamat,'' katanya. Sementara bunga lambang kesucian hati dan lambang kasih sayang. ''Bahkan, canang itu inti pokok semua banten yang lain,
Komponen canang sari :
Daun janur sebagai alas;
Porosan (sebentuk kecil daun janur kering yang berisi kapur putih);
Seiris pisang;
Seiris tebu:
Boreh miik (sejenis bubuk berbau wangi);
Kekiping (sejenis kue dari ketan yang kecil dan tipis);
Di atasnya diletakkan bunga beraneka ragam (umumnya berupa warna : putih, kuning, merah, hijau);
sesari Pis Bolong atau uang
Apakah sebenarnya makna yang terkandung dalam sebuah canang sari?.
Canang sari sebagai lambang angga sarira serta hidup dan kehidupan. Mengenai bentuk dan fungsi canang menurut pandangan Hindu Bali ada beberapa macam sesuai dengan kegiatan upakara yang dilaksanakan. Di bawah ini penjabaran mengapa canang dikatakan sebagai penjabaran dari bahasa Weda, hal ini melalui simbol-simbol sebagai berikut :
Ceper.
Ceper adalah sebagai alas dari sebuah canang, yang memiliki bentuk segi empat. Ceper adalah sebagai lambang angga-sarira (badan), empat sisi dari pada ceper sebagai lambang/nyasa dari Panca Maha Bhuta, Panca Tan Mantra, Panca Buddhindriya, Panca Karmendriya. Keempat itulah yang membentuk terjadinya Angga-sarira (badan wadag) ini. berbentuk segi empat juga merupakan simbol kekuatan "Ardha Candra" (bulan).
Beras.
Beras atau wija sebagai lambang/nyasa Sang Hyang Ātma , yang menjadikan badan ini bisa hidup, Beras/wija sebagai lambang benih, dalam setiap insan/kehidupan diawali oleh benih yang bersumber dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang berwujud Ātma. Ceper sebagai lambang/nyasa angga-sarira/badan tiadalah gunanya tanpa kehadiran Sang Hyang Ātma . Tak ubahnya bagaikan benda mati, yang hanya menunggu kehancurannya. Maka dari itulah di atas sebuah ceper juga diisi dengan beras, sebagai lambang/nyasa Sang Hyang Ātma . Maka dari itulah hidup kita di belenggu oleh Citta dan Klesa, Ātma menimbulkan terjadinya Citta Angga-sarira (badan kasar) menimbulkan terjadinya klesa, itulah yang menyebabkan setiap umat manusia memiliki kelebihan dan kekurangannya.
Porosan.
Di atas ceper ini diisikan sebuah "Porosan" (terdiri dari daun sirih, pamor (kapur) dan dimasukkan dalam jepitan janur) sebagai simbol "Silih Asih" dan Poros/Pusat yang bermakna, pada saat penganut Hindu Bali menghaturkan persembahan harus dilandasi oleh hati yang welas asih serta tulus kehadapan Sang Hyang Widhi beserta Prabhawa Nya, demikian pula dalam hal kita menerima anugerah dan karunia Nya.
Sebuah Porosan terbuat dari daun sirih, kapur/pamor, dan jambe atau gambir sebagai lambang/nyasa Tri-Premana, Bayu, Sabda, dan Idep (pikiran, perkataan, dan perbuatan).
Daun sirih sebagai lambang warna hitam sebagai nyasa Bhatara Visnu, dalam bentuk tri-premana sebagai lambang/nyasa dari Sabda (perkataan),
Jambe/Gambir sebagai nyasa Bhatara Brahma, dalam bentuk Tri-premana sebagai lambang/nyasa Bayu (perbuatan),
Kapur/Pamor sebagai lambang/nyasa Bhatara Iswara, dalam bentuk Tri-premana sebagai lambang/nyasa Idep (pikiran).
Suatu kehidupan tanpa dibarengi dengan Tri-premana dan Tri Kaya, suatu kehidupan tiadalah artinya, hidup ini akan pasif, karena dari adanya Tri-premana dan Tri Kaya itulah kita bisa memiliki suatu aktivitas, tanpa kita memiliki suatu aktivitas kita tidak akan dapat menghadapi badan ini. Suatu aktivitas akan terwujud karena adanya Tri-Premana ataupun Tri-kaya.
Tebu dan pisang.
Di atas sebuah ceper telah diisi dengan beras, porosan, dan juga diisi dengan seiris tebu, seiris pisang serta sepotong jaja (kue) adalah sebagai simbol kekuatan "Wiswa Ongkara" (Angka 3 aksara Bali). Tebu atapun pisang memiliki makna sebagai lambang/nyasa amrtha. Setelah kita memiliki badan dan jiwa yang menghidupi badan kita, dan tri Pramana yang membuat kita dapat memiliki aktivitas, dengan memiliki suatu aktivitaslah kita dapat mewujudkan Amrtha untuk menghidupi badan dan jiwa ini. Tebu dan pisang adalah sebagai lambang/ nyasa Amrtha yang diciptakan oleh kekuatan Tri Pramana dan dalam wujud Tri Kaya.
Sampian Uras.
setelah tersebut diatas, disusunlah sebuah "Sampian Urasari" yang berbentuk bundar sebagai dasar untuk menempatkan bunga. Hal ini adalah simbol dari kekuatan "Windhu" (Matahari). Lalu pada ujung-ujung Urasari ini memakai hiasan panah sebagai simbol kekuatan "Nadha" (Bintang).
Sampian uras dibuat dari rangkaian janur yang ditata berbentuk bundar yang biasanya terdiri dari delapan ruas atau helai, yang melambangkan roda kehidupan dengan Astaa iswaryanya/delapan karakteristik yang menyertai setiap kehidupan umat manusia. Yaitu : Dahram (Kebijaksanaan), Sathyam (Kebenaran dan kesetiaan), Pasupati (ketajaman, intelektualitas), kama Kesenangan), Eswarya (kepemimpinan), Krodha (kemarahan), Mrtyu (kedengkian, iri hati, dendam), Kala ( kekuatan). Itulah delapan karakteristik yang dimiliki oleh setiap umat manusia, sebagai pendorong melaksanakan aktivitas, dalam menjalani roda kehidupannya.
Bunga.
Penataan bunga berdasarkan warnanya di atas Sampian Urasari diatur dengan etika dan tattwa, harus sesuai dengan pengider-ideran (tempat) Panca Dewata. Untuk urutannya saya menggunakan urutan Purwa/Murwa Daksina yaitu diawali dari arah Timur ke Selatan.
Bunga berwarna Putih (jika sulit dicari, dapat diganti dengan warna merah muda) disusun untuk menghadap arah Timur, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari (Bidadari) Gagar Mayang oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Iswara agar memercikkan Tirtha Sanjiwani untuk menganugerahi kekuatan kesucian skala niskala.
Bunga berwarna Merah disusun untuk menghadap arah Selatan, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari Saraswati oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Brahma agar memercikkan Tirtha Kamandalu untuk menganugerahi kekuatan Kepradnyanan dan Kewibawaan.
Bunga berwarna Kuning disusun untuk menghadap arah Barat, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari Ken Sulasih oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Mahadewa agar memercikkan Tirtha Kundalini untuk menganugerahi kekuatan intuisi.
Bunga berwarna Hitam (jika sulit dicari, dapat diganti dengan warna biru, hijau atau ungu) disusun untuk menghadap arah Utara, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari Nilotama oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Wisnu agar memercikkan Tirtha Pawitra untuk menganugerahi kekuatan peleburan segala bentuk kekotoran jiwa dan raga.
Bunga adalah sebagai lambang/nyasa, kedamaian, ketulusan hati. Pada sebuah canang bunga akan ditaruh di atas sebuah sampian uras, sebagai lambang/nyasa di dalam kita menjalani roda kehidupan ini hendaknya selalu dilandasi dengan ketulusan hati dan selalu dapat mewujudkan kedamaian bagi setiap insan.
Kembang Rampai.
Kembang rampai akan ditaruh di atas susunan/rangkaian bunga-bunga pada suatu canang, kembang rampai memiliki makna sebagai lambang/nyasa kebijaksanaan. Dari kata kembang rampai memiliki dua arti, yaitu: kembang berarti bunga dan rampai berarti macam-macam, sesuai dengan arah pengider-ideran kembang rampai di taruh di tengah sebagai simbol warna brumbun, karena terdiri dari bermacam-macam bunga. Dari sekian macam bunga, tidak semua memiliki bau yang harum, ada juga bunga yang tidak memiliki bau, begitu juga dalam kita menjalani kehidupan ini, tidak selamanya kita akan dapat menikmati kesenangan adakalanya juga kita akan tertimpa oleh kesusahan, kita tidak akan pernah dapat terhindar dari dua dimensi kehidupan ini. Untuk itulah dalam kita menata kehiupan ini hendaknya kita memiliki kebijaksanaan.
Bunga Rampe (irisan pandan arum) disusun di tengah-tengah, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari Supraba oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Siwa agar memercikkan Tirtha Mahamertha untuk menganugerahi kekuatan pembebasan (Moksa).
Bunga canang, kembang rampe, porosan adalah simbol dari Tarung / Tedung dari Ong Kara (isi dari Tri Bhuwana = Bhur-Bwah-Swah).
Lepa.
Lepa atau boreh miyik adalah sebagai lambang/nyasa sebagai sikap dan prilaku yang baik. Boreh miyik/lulur yang harum, lalau seseorang memaki lulur, pasti akan dioleskan pada kulitnya, jadi lulur sifat di luar yang dapat disaksikan oleh setiap orang. Yang dapat dilihat ataupun disaksikan oleh orang lain adalah prilaku kita, karena prilakunyalah seseorang akan disebut baik ataupun buruk, seseorang akan dikatakan baik apabila dia selalu berbuat baik, begitu juga sebaliknya seseorang akan dikatakan buruk kalau di selalu berbuat hal-hal yang tidak baik. Boreh miyik sebagai lambang/nyasa perbuatan yang baik.
Minyak wangi.
Minyak wangi/miyik-miyikan sebagai lambang/nyasa ketenangan jiwa atau pengendalian diri, minyak wangi biasanya diisi pada sebuah canang. Sebagai lambang/nyasa di dalam kita menata hidup dan kehidupan ini hendaknya dapat dijalankan dengan ketenangan jiwa dan pengendalian diri yang baik, saya umpamakan seperti air yang tenang, di dalam air yang kita akan dapat melihat jauh ke dalam air, sekecil apapun benda yang ada dalam air dengan gampang kita dapat melihatnya. Begitu juga dalam kita menjalani kehidupan ini, dengan ketenangan jiwa dan pengendalian diri yang mantap kita akan dapat menyelesaikan segala beban hidup ini.
Isi canang sari mengikuti aturan-aturan yang tertuang dalam lontar. Jadi, canang sari tidak diambil dari kitab Weda, namun isi Weda yang kemudian diterjemahkan ke dalam lontar yang ditulis oleh para leluhur di Bali.
Setelah kita menghaturkan canang sari, akan dilanjutkan dengan menghaturkan segehan. Segehan pun dibuat harus berdasarkan tattwa sehingga segehan memiliki makna filosofis yang mendalam dengan nasi yang berwarna seperti halnya dengan canang. Nasi pada segehan untuk yang dihaturkan di dalam lingkungan rumah seharusnya di kepel (di padatkan dengan kepalan tangan) sebagai simbol keteguhan dan kesatuan, agar keluarga dalam rumah tinggal dianugerahkan kedamaian, keteguhan dan kerukunan.
Warna Nasi Untuk Segehan
Arah Timur, warna nasi adalah putih.
Arah Selatan, warna nasi adalah merah. Dapat menggunakan nasi dari beras merah atau diwarnai dengan warna alami seperti pamor (kapur) dan sirih.
Arah Barat, warna nasi adalah kuning. Dapat diwarnai dengan kunyit.
Arah Utara, warna nasi adalah hitam. Dapat diwarnai dengan arang atau kopi. Selalu mengusahakan pewarnaan nasi dengan warna alami, jangan menggunakan pewarna buatan, karena sama dengan kita sedang berbohong.
Di dalam segehan, selain nasi kepel juga berisi :
Porosan Silih Asih yang bermakna, pada saat penganut Hindu Bali menghaturkan persembahan harus dilandasi oleh hati yang welas asih serta tulus kehadapan Sang Hyang Widhi beserta Prabhawa Nya, demikian pula dalam hal kita menerima anugerah dan karunia Nya.
Bunga, cukup sehelai. (Makna dan penjabarannya silahkan lihat dicatatan saya tentang "Sarana Inti Pemuspan Hindu Bali"
Garam sebagai simbol satwam : sifat kebijaksanaan.
Irisan bawang sebagai simbol tamas : sifat kemalasan.
Irisan jahe sebagai simbol rajas : sifat keserakahan.
Garam, bawang dan jahe adalah simbolis untuk mengembalikan Tri Guna (Satwam-Rajas-Tamas) kepada asalnya.
Menghaturkan canang sari yang terbaik adalah dilakukan pada pagi hari, caranya haturkan canang sari pada tempatnya (seperti rong pelinggih dsb) sesuaikan warna bunga dengan arah mata angin. Kemudian selipkan sebatang dupa, lalu percikkan air menggunakan bunga yang dipegang di tangan. Saat ngayab, pastikan menggunakan tangan kanan, kemudian bunga pada posisi antara jari telunjuk dan jari tengah sebagai simbolis Siwa di dalam raga kita. Gerakan ngayab harus lemah gemulai dari sisi luar belakang ke arah depan. Harap hanya menggunakan tangan, jangan menggunakan alat bantu lainnya seperti saab atau lainnya yang tidak ada maknanya dalam tattwa.
Menghaturkan canang sari di pagi hari adalah simbolis Utpeti agar dalam hari tersebut kita mendapat restu anugerah dan karunia Sang Hyang Widhi. Kemudian lanjutkan dengan kegiatan sehari-hari kita yang merupakan Stiti . Kemudian pada sore harinya Salikaon (setelah matahari terbenam) kita menghaturkan segehan sebagai simbolis Pralina, sebagai ucap syukur dan mempersembahkan atau mengembalikan semua yang kita lakukan pada hari tersebut ke hadapan Sang Hyang Widhi.
Cara menghaturkan segehan pun ada aturannya. Letakkan segehan pada tempatnya di bawah (tidak di rong pelinggih) sesuaikan warna nasi dengan arah mata angin. Kemudian selipkan sebatang dupa, lalu tuangkan Berem kemudian Arak berlawanan arah dengan jarum jam (ke kiri). Putaran ke kiri memiliki makna ke bawah (turun). Berem adalah simbol Ang dan Arak adalah Ah (lebih lengkapnya lihat catatan saya tentang "Makna Arak Berem"). Kemudian percikkan air menggunakan bunga yang dipegang di tangan. Kemudian ngayab seperti pada canang sari di atas. Sebagai penutupnya maka tuangkan kembali dengan urutan berbalik yaitu Arak kemudian Berem, searah dengan jarum jam (ke kanan). Putaran ke kanan memiliki makna ke atas (naik), ini simbolis ngeluhur yaitu mempersilahkan kekuatan Hyang Widhi untuk kembali kepada asalnya. Putaran bolak-balik ke kiri dan ke kanan ini pun simbolis dari kisah pemuteran Mandara Giri, untuk memohon dimancurkannya Tirtha Kehidupan (Panca Tirtha).
Canang sari sangat mudah didapatkan di pasar-pasar tradisional di Bali. Harganya beraneka ragam, namun umumnya tidak terlalu mahal.
Meski sederhana, canang sari sangat populer dan dibutuhkan di Bali. Selain itu, canang sari sangat cantik dan indah dipandang. Apalagi ditambah dupa di atasnya dan dicipratkan air suci, ada aura kesejukan yang dipancarkan dari canang sari
Canang sari umum dipakai sebagai persembahan sehari-hari. Sedangkan pada hari-hari besar keagamaan, canang sari hanya dipakai sebagai pelengkap saja. Pada hari-hari tersebut, masyarakat Bali memakai berbagai jenis sesajen dalam tingkat yang lebih tinggi, yang pembuatan dan aturan isinya jauh lebih rumit daripada canang sari.
Canang adalah pada dasarnya sebagai wujud dari perwakilan kita untuk menghadap kepada-Nya. Kalau kita dapat meresapi dan menghayati serta melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari, seperti apa yang terkandung dalam makna Canang sari di atas, pasti bhakti kita akan diterima oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa, dan kita dapat mengarungi kehidupan ini dengan damai sejahtera sekala niskala. Karena ketaqwaan seseorang beragama bukanlah dinilai dari seringnya mereka sembahyang atau menghaturkan persembahan yang mewah-mewah, melainkan sejauh mana mereka dapat merealisasikan dalam bentuk prilakunya dalam bermasyarakat. Karena suatu ajaran Agama tidak hanya cukup untuk diresapi ataupun dihayati saja, melainkan harus dipraktekan dalam kehidupan nyata sehari-hari di dalam masyarakat.
Sesuai penjelasan di atas, maka canang sari dan segehan tersebut mengandung simbul kekuatan Sang Hyang Panca Dewata. Maka sudah sepantasnya, dalam penyusunannya tidak boleh asal-asalan asal kelihatan seni atau ngawur apalagi berantakan, kita seharusnya memperhatikan makna dan tujuannya. Kekeliruan yang sering dan lumrah kita lihat dikeseharian adalah tidak memperhatikannya arah mata angin pada saat menghaturkan canang sari, yang mana seharusnya luanan (hulu) mana teben. Kekeliruan akan terakumulasi mulai dari susunan bunga pada canang yang tidak sesuai ditambah lagi saat menghaturkannya tidak memperhatikan arah mata angin. Misalnya, warna putih seharusnya ke arah timur justru dipasang di arah barat, kemudian merah seharusnya di selatan justru ke timur.
Pernah saya mendengar keluh kesah dari beberapa kesempatan, mereka mengatakan bahwa, sudah menghaturkan canang sari dan segehan setiap hari ternyata hidup saya dan keluarga masih kacau balau.
Ironis bukan, jika ditelusuri ternyata kekacauan itu ternyata bukan semata-mata dari luar kita. Memang kita mungkin sudah menghaturkan canang sari setiap hari, namun tidak sesuai tata cara dan aturan sesuai Tattwa-nya. Sehingga yang terjadi adalah, kita menghaturkan canang sari yang isinya kacau balau, arah yang tidak sesuai apalagi ditambah isi yang tidak lengkap. Dengan kata lain, kacau balau dan ketidak sesuaian arah dan kehidupan yang tidak lengkap itulah yang kita mohonkan sesuai seperti kita menghaturkan canang yang kacau balau.
Yang dihaturkan kacau balau, maka anugerah yang diberikan adalah kekacauan... bukankah ini telah sesuai?
Jadi salah siapa?
Menghaturkan canang sari yang terbaik adalah dilakukan pada pagi hari, caranya haturkan canang sari pada tempatnya (seperti rong pelinggih dsb) sesuaikan warna bunga dengan arah mata angin. Kemudian selipkan sebatang dupa, lalu percikkan air menggunakan bunga yang dipegang di tangan. Saat ngayab, pastikan menggunakan tangan kanan, kemudian bunga pada posisi antara jari telunjuk dan jari tengah sebagai simbolis Siwa di dalam raga kita. Gerakan ngayab harus lemah gemulai dari sisi luar belakang ke arah depan. Harap hanya menggunakan tangan, jangan menggunakan alat bantu lainnya seperti saab atau lainnya yang tidak ada maknanya dalam tattwa.
Menghaturkan canang sari di pagi hari adalah simbolis Utpeti agar dalam hari tersebut kita mendapat restu anugerah dan karunia Sang Hyang Widhi. Kemudian lanjutkan dengan kegiatan sehari-hari kita yang merupakan Stiti . Kemudian pada sore harinya Salikaon (setelah matahari terbenam) kita menghaturkan segehan sebagai simbolis Pralina, sebagai ucap syukur dan mempersembahkan atau mengembalikan semua yang kita lakukan pada hari tersebut ke hadapan Sang Hyang Widhi.
Cara menghaturkan segehan pun ada aturannya.
Letakkan segehan pada tempatnya di bawah (tidak di rong pelinggih) sesuaikan warna nasi dengan arah mata angin.
Kemudian selipkan sebatang dupa harum.
lalu tuangkan Berem kemudian Arak berlawanan arah dengan jarum jam (ke kiri). Putaran ke kiri memiliki makna ke bawah (turun). Berem adalah simbol Ang dan Arak adalah Ah (lebih lengkapnya lihat catatan saya tentang "Makna Arak Berem").
Kemudian percikkan air menggunakan bunga yang dipegang di tangan.
Kemudian ngayab seperti pada canang sari di atas.
Sebagai penutupnya maka tuangkan kembali dengan urutan berbalik yaitu Arak kemudian Berem, searah dengan jarum jam (ke kanan). Putaran ke kanan memiliki makna ke atas (naik), ini simbolis ngeluhur yaitu mempersilahkan kekuatan Hyang Widhi untuk kembali kepada asalnya. Putaran bolak-balik ke kiri dan ke kanan ini pun simbolis dari kisah pemuteran Mandara Giri, untuk memohon dimancurkannya Tirtha Kehidupan (Panca Tirtha).
Demikian secara singkat tentang ritual sehari-hari beserta maknanya sesuai Tattwa ajaran Hindu Bali, semoga bermanfaat.
Berbicara masalah budaya Bali, tidak akan pernah terlepas dari agama Hindu yang dianut mayoritas masyarakat Bali. Dalam suatu konsep agama Hindu dalam mempersiapkan sarana persembahyangan, yang antara lain : air, api, bunga, buah, daun. Dalam budaya Bali, konsep ini kemudian dipraktekkan dalam wujud seni. Salah satunya adalah keanekaragaman bentuk sesajen.
Banten adalah Weda, sama halnya dengan mantra. Ketika umat tidak mampu merapalkan mantra Weda dengan baik, sebagai bentuk bukti syukur umat dapat membuktikannya dengan menghaturkan sesajen atau banten yang baik sesuai dengan ajaran Weda. Melalui banten inilah sebagai penolong manusia menghubungkan antara yang dipuja dengan yang memuja (Rai Sudarta, 2001:58).
Ida Bagus Sudarsana dalam bukunya yang berjudul Himpunan Tetandingan Upakara Yadnya menyebutkan dalam pelaksanaan upacara harus ada tiga unsur yakni bunga, air dan api, maka dalam pelaksanaan upacara kuantitas yang terkecil dari sarana yang dibutuhkan adalah berupa sarana yang merupakan inti atau kanista yang disebut dengan canang
Canang berasal dari dua suku kata “Ca” yang berarti indah dan “Nang” yang diartikan sebagai tujuan yang dimaksud sesuai dengan kamus Kawi/Jawa Kuno (Sudarsana, 2010:1). Sari berarti inti atau sumber.
Dengan demikian maksud dan tujuan canang adalah sebagai sarana bahasa Weda untuk memohon keindahan kekuatan Widya kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta Prabhawa (manifestasi) Nya secara skala maupun niskala. Canang merupakan upakara yang penting bagi umat Hindu khususnya di Bali.
canang sudah umum dipakai sebagai sarana persembahyangan, tetapi masih ada umat yang belum memahami maknanya. Canang dalam bahasa Jawa kuno awalnya berarti sirih, sehingga di Bali ada istilah pecanangan yang isinya sirih, gambir, pamor, tembakau, dan buah pinang.
Di Bali canang disusun menjadi sebuah sarana persembahyangan yang bahan intinya yakni peporosan. Peporosan dibuat dari daun sirih, kapur, gambir dan buah pinang. ''Sirih pada zaman dulu diberikan sebagai penghormatan terhadap para tamu. Bahkan, sampai sekarang sirih memiliki arti penting dalam sebuah upacara di Bali dan juga masih disuguhkan kepada tamu
Karena dalam kesehariannya umat Hindu selalu menghaturkan canang sari sebagai wujud sujud bakti kepada Sang Hyang Widhi. Selain itu canang sari merupakan sarana upakara yang paling sederhana namun sangatlah penting. Dalam Bhagawad Gita IX.26, dikatakan
patram puspam phalam toyam
yo me bhaktya prayacchati
tat aham bhakty-upahrtam
asnami prayatatmanah
Artinya :
siapapun yang dengan sujud bhakti kehadapan-Ku mempersembahkan sehelai daun, sebiji buah-buahan,seteguk air, aku terima sebagai bhakti persembahan dari orang yang berhati suci
Jika dicermati petikan Sloka Bhagawad Gita tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan canang sari merupakan sarana upacara yang sudah cukup lengkap walau dalam skala kecil, karena isi canang umumnya terdiri dari daun,bunga, buah, dan biji yang semua bahan itu memiliki nilai filosofi masing-masing.
Canang dan upakara yang lain merupakan pengejahwantahan Weda yang lahir dari konsep Yadnya, Kata Yadnya berasal dari bahasa Sansekerta yakni Yaj yang berarti korban pemujaan. Jadi, Yadnya berarti korban suci (Made Ngurah, 2005:147). Jenis yadnya dibedakan menjadi lima yang disebut dengan Panca Yadnya yang terdiri dari Dewa Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya, Manusia Yadnya dan Butha Yadnya.
Dalam konteks ritual upacara inilah yang melahirkan konsep upakara. Upakara yaitu bahan atau material yang akan menjadi wujud dalam persembahan itu. Berdasarkan besar kecilnya upakara yang digunakan yadnya dibedakan menjadi tiga yaitu nistha ( tingkat kecil), Madya ( tingkat menengah), Utama ( tingkat besar). Walaupun terbagi menjadi tiga tingkatan namun dari segi kualitas ketiganya tidak ada perbedaan, sepanjang dalam pelaksanaannya didasari dengan ketulusan dan kesucian hati. Begitu pula dengan canang walau merupakan upakara yang paling sederhana dibanding upakara yang lain namun dalam konteks yadnya, canang tetap meupakan pengorbanan suci sebagai wujud syukur dan bakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi. Arti dan makna simbolik itu terkandung baik dari bentuk maupun bahan yang digunakan dalam pembuatan upakara tersebut yang keseluruhannya merupakan simbol-simbol ketuhanan.
Sarana upacara atau bebantenan di Bali, sesungguhnya tidak hanya hiasan belaka. Tetapi, di dalamnya sarat makna simbolis. Pada umumnya, sarana upakara tersebut sebagai media bagi umat untuk menghubungkan diri dengan Sang Pencipta.
Canang sari adalah suatu Upakāra /banten yang selalu menyertai atau melengkapi setiap sesajen/persembahan, segala Upakāra yang dipersiapkan belum disebut lengkap kalau tidak di lengkapi dengan canang sari, begitu pentingnya sebuah canang sari dalam suatu Upakāra /bebanten.
Canang sari dalam persembahyangan penganut Hindu Bali adalah kuantitas terkecil namun inti (kanista=inti). Kenapa disebut terkecil namun inti, karena dalam setiap bebantenan apa pun selalu berisi Canang Sari. Canang sari sering dipakai untuk persembahyangan sehari-hari di Bali. Canang sari juga mengandung salah satu makna sebagai simbol bahasa Weda untuk memohon kehadapan Sang Hyang Widhi yaitu memohon kekuatan Widya (Pengetahuan) untuk Bhuwana Alit maupun Bhuwana Agung.
Tidak itu saja, bahan lainnya seperti ceper yang berbentuk segi empat melambangkan catur purusa artha dan taledan atau tapak dara melambangkan keharmonisan serta uras sari lambang keheningan pikiran atau keteguhan pikiran. ''Jadi canang itu adalah wujud persembahan kepada Tuhan dalam manifestasinya sebagai Tri Murti. Umat memohon anugerah kepada Beliau agar mampu mencapai tujuan hidup yakni catur purusa artha dengan selamat,'' katanya. Sementara bunga lambang kesucian hati dan lambang kasih sayang. ''Bahkan, canang itu inti pokok semua banten yang lain,
Komponen canang sari :
Daun janur sebagai alas;
Porosan (sebentuk kecil daun janur kering yang berisi kapur putih);
Seiris pisang;
Seiris tebu:
Boreh miik (sejenis bubuk berbau wangi);
Kekiping (sejenis kue dari ketan yang kecil dan tipis);
Di atasnya diletakkan bunga beraneka ragam (umumnya berupa warna : putih, kuning, merah, hijau);
sesari Pis Bolong atau uang
Apakah sebenarnya makna yang terkandung dalam sebuah canang sari?.
Canang sari sebagai lambang angga sarira serta hidup dan kehidupan. Mengenai bentuk dan fungsi canang menurut pandangan Hindu Bali ada beberapa macam sesuai dengan kegiatan upakara yang dilaksanakan. Di bawah ini penjabaran mengapa canang dikatakan sebagai penjabaran dari bahasa Weda, hal ini melalui simbol-simbol sebagai berikut :
Ceper.
Ceper adalah sebagai alas dari sebuah canang, yang memiliki bentuk segi empat. Ceper adalah sebagai lambang angga-sarira (badan), empat sisi dari pada ceper sebagai lambang/nyasa dari Panca Maha Bhuta, Panca Tan Mantra, Panca Buddhindriya, Panca Karmendriya. Keempat itulah yang membentuk terjadinya Angga-sarira (badan wadag) ini. berbentuk segi empat juga merupakan simbol kekuatan "Ardha Candra" (bulan).
Beras.
Beras atau wija sebagai lambang/nyasa Sang Hyang Ātma , yang menjadikan badan ini bisa hidup, Beras/wija sebagai lambang benih, dalam setiap insan/kehidupan diawali oleh benih yang bersumber dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang berwujud Ātma. Ceper sebagai lambang/nyasa angga-sarira/badan tiadalah gunanya tanpa kehadiran Sang Hyang Ātma . Tak ubahnya bagaikan benda mati, yang hanya menunggu kehancurannya. Maka dari itulah di atas sebuah ceper juga diisi dengan beras, sebagai lambang/nyasa Sang Hyang Ātma . Maka dari itulah hidup kita di belenggu oleh Citta dan Klesa, Ātma menimbulkan terjadinya Citta Angga-sarira (badan kasar) menimbulkan terjadinya klesa, itulah yang menyebabkan setiap umat manusia memiliki kelebihan dan kekurangannya.
Porosan.
Di atas ceper ini diisikan sebuah "Porosan" (terdiri dari daun sirih, pamor (kapur) dan dimasukkan dalam jepitan janur) sebagai simbol "Silih Asih" dan Poros/Pusat yang bermakna, pada saat penganut Hindu Bali menghaturkan persembahan harus dilandasi oleh hati yang welas asih serta tulus kehadapan Sang Hyang Widhi beserta Prabhawa Nya, demikian pula dalam hal kita menerima anugerah dan karunia Nya.
Sebuah Porosan terbuat dari daun sirih, kapur/pamor, dan jambe atau gambir sebagai lambang/nyasa Tri-Premana, Bayu, Sabda, dan Idep (pikiran, perkataan, dan perbuatan).
Daun sirih sebagai lambang warna hitam sebagai nyasa Bhatara Visnu, dalam bentuk tri-premana sebagai lambang/nyasa dari Sabda (perkataan),
Jambe/Gambir sebagai nyasa Bhatara Brahma, dalam bentuk Tri-premana sebagai lambang/nyasa Bayu (perbuatan),
Kapur/Pamor sebagai lambang/nyasa Bhatara Iswara, dalam bentuk Tri-premana sebagai lambang/nyasa Idep (pikiran).
Suatu kehidupan tanpa dibarengi dengan Tri-premana dan Tri Kaya, suatu kehidupan tiadalah artinya, hidup ini akan pasif, karena dari adanya Tri-premana dan Tri Kaya itulah kita bisa memiliki suatu aktivitas, tanpa kita memiliki suatu aktivitas kita tidak akan dapat menghadapi badan ini. Suatu aktivitas akan terwujud karena adanya Tri-Premana ataupun Tri-kaya.
Tebu dan pisang.
Di atas sebuah ceper telah diisi dengan beras, porosan, dan juga diisi dengan seiris tebu, seiris pisang serta sepotong jaja (kue) adalah sebagai simbol kekuatan "Wiswa Ongkara" (Angka 3 aksara Bali). Tebu atapun pisang memiliki makna sebagai lambang/nyasa amrtha. Setelah kita memiliki badan dan jiwa yang menghidupi badan kita, dan tri Pramana yang membuat kita dapat memiliki aktivitas, dengan memiliki suatu aktivitaslah kita dapat mewujudkan Amrtha untuk menghidupi badan dan jiwa ini. Tebu dan pisang adalah sebagai lambang/ nyasa Amrtha yang diciptakan oleh kekuatan Tri Pramana dan dalam wujud Tri Kaya.
Sampian Uras.
setelah tersebut diatas, disusunlah sebuah "Sampian Urasari" yang berbentuk bundar sebagai dasar untuk menempatkan bunga. Hal ini adalah simbol dari kekuatan "Windhu" (Matahari). Lalu pada ujung-ujung Urasari ini memakai hiasan panah sebagai simbol kekuatan "Nadha" (Bintang).
Sampian uras dibuat dari rangkaian janur yang ditata berbentuk bundar yang biasanya terdiri dari delapan ruas atau helai, yang melambangkan roda kehidupan dengan Astaa iswaryanya/delapan karakteristik yang menyertai setiap kehidupan umat manusia. Yaitu : Dahram (Kebijaksanaan), Sathyam (Kebenaran dan kesetiaan), Pasupati (ketajaman, intelektualitas), kama Kesenangan), Eswarya (kepemimpinan), Krodha (kemarahan), Mrtyu (kedengkian, iri hati, dendam), Kala ( kekuatan). Itulah delapan karakteristik yang dimiliki oleh setiap umat manusia, sebagai pendorong melaksanakan aktivitas, dalam menjalani roda kehidupannya.
Bunga.
Penataan bunga berdasarkan warnanya di atas Sampian Urasari diatur dengan etika dan tattwa, harus sesuai dengan pengider-ideran (tempat) Panca Dewata. Untuk urutannya saya menggunakan urutan Purwa/Murwa Daksina yaitu diawali dari arah Timur ke Selatan.
Bunga berwarna Putih (jika sulit dicari, dapat diganti dengan warna merah muda) disusun untuk menghadap arah Timur, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari (Bidadari) Gagar Mayang oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Iswara agar memercikkan Tirtha Sanjiwani untuk menganugerahi kekuatan kesucian skala niskala.
Bunga berwarna Merah disusun untuk menghadap arah Selatan, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari Saraswati oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Brahma agar memercikkan Tirtha Kamandalu untuk menganugerahi kekuatan Kepradnyanan dan Kewibawaan.
Bunga berwarna Kuning disusun untuk menghadap arah Barat, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari Ken Sulasih oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Mahadewa agar memercikkan Tirtha Kundalini untuk menganugerahi kekuatan intuisi.
Bunga berwarna Hitam (jika sulit dicari, dapat diganti dengan warna biru, hijau atau ungu) disusun untuk menghadap arah Utara, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari Nilotama oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Wisnu agar memercikkan Tirtha Pawitra untuk menganugerahi kekuatan peleburan segala bentuk kekotoran jiwa dan raga.
Bunga adalah sebagai lambang/nyasa, kedamaian, ketulusan hati. Pada sebuah canang bunga akan ditaruh di atas sebuah sampian uras, sebagai lambang/nyasa di dalam kita menjalani roda kehidupan ini hendaknya selalu dilandasi dengan ketulusan hati dan selalu dapat mewujudkan kedamaian bagi setiap insan.
Kembang Rampai.
Kembang rampai akan ditaruh di atas susunan/rangkaian bunga-bunga pada suatu canang, kembang rampai memiliki makna sebagai lambang/nyasa kebijaksanaan. Dari kata kembang rampai memiliki dua arti, yaitu: kembang berarti bunga dan rampai berarti macam-macam, sesuai dengan arah pengider-ideran kembang rampai di taruh di tengah sebagai simbol warna brumbun, karena terdiri dari bermacam-macam bunga. Dari sekian macam bunga, tidak semua memiliki bau yang harum, ada juga bunga yang tidak memiliki bau, begitu juga dalam kita menjalani kehidupan ini, tidak selamanya kita akan dapat menikmati kesenangan adakalanya juga kita akan tertimpa oleh kesusahan, kita tidak akan pernah dapat terhindar dari dua dimensi kehidupan ini. Untuk itulah dalam kita menata kehiupan ini hendaknya kita memiliki kebijaksanaan.
Bunga Rampe (irisan pandan arum) disusun di tengah-tengah, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari Supraba oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Siwa agar memercikkan Tirtha Mahamertha untuk menganugerahi kekuatan pembebasan (Moksa).
Bunga canang, kembang rampe, porosan adalah simbol dari Tarung / Tedung dari Ong Kara (isi dari Tri Bhuwana = Bhur-Bwah-Swah).
Lepa.
Lepa atau boreh miyik adalah sebagai lambang/nyasa sebagai sikap dan prilaku yang baik. Boreh miyik/lulur yang harum, lalau seseorang memaki lulur, pasti akan dioleskan pada kulitnya, jadi lulur sifat di luar yang dapat disaksikan oleh setiap orang. Yang dapat dilihat ataupun disaksikan oleh orang lain adalah prilaku kita, karena prilakunyalah seseorang akan disebut baik ataupun buruk, seseorang akan dikatakan baik apabila dia selalu berbuat baik, begitu juga sebaliknya seseorang akan dikatakan buruk kalau di selalu berbuat hal-hal yang tidak baik. Boreh miyik sebagai lambang/nyasa perbuatan yang baik.
Minyak wangi.
Minyak wangi/miyik-miyikan sebagai lambang/nyasa ketenangan jiwa atau pengendalian diri, minyak wangi biasanya diisi pada sebuah canang. Sebagai lambang/nyasa di dalam kita menata hidup dan kehidupan ini hendaknya dapat dijalankan dengan ketenangan jiwa dan pengendalian diri yang baik, saya umpamakan seperti air yang tenang, di dalam air yang kita akan dapat melihat jauh ke dalam air, sekecil apapun benda yang ada dalam air dengan gampang kita dapat melihatnya. Begitu juga dalam kita menjalani kehidupan ini, dengan ketenangan jiwa dan pengendalian diri yang mantap kita akan dapat menyelesaikan segala beban hidup ini.
Isi canang sari mengikuti aturan-aturan yang tertuang dalam lontar. Jadi, canang sari tidak diambil dari kitab Weda, namun isi Weda yang kemudian diterjemahkan ke dalam lontar yang ditulis oleh para leluhur di Bali.
Setelah kita menghaturkan canang sari, akan dilanjutkan dengan menghaturkan segehan. Segehan pun dibuat harus berdasarkan tattwa sehingga segehan memiliki makna filosofis yang mendalam dengan nasi yang berwarna seperti halnya dengan canang. Nasi pada segehan untuk yang dihaturkan di dalam lingkungan rumah seharusnya di kepel (di padatkan dengan kepalan tangan) sebagai simbol keteguhan dan kesatuan, agar keluarga dalam rumah tinggal dianugerahkan kedamaian, keteguhan dan kerukunan.
Warna Nasi Untuk Segehan
Arah Timur, warna nasi adalah putih.
Arah Selatan, warna nasi adalah merah. Dapat menggunakan nasi dari beras merah atau diwarnai dengan warna alami seperti pamor (kapur) dan sirih.
Arah Barat, warna nasi adalah kuning. Dapat diwarnai dengan kunyit.
Arah Utara, warna nasi adalah hitam. Dapat diwarnai dengan arang atau kopi. Selalu mengusahakan pewarnaan nasi dengan warna alami, jangan menggunakan pewarna buatan, karena sama dengan kita sedang berbohong.
Di dalam segehan, selain nasi kepel juga berisi :
Porosan Silih Asih yang bermakna, pada saat penganut Hindu Bali menghaturkan persembahan harus dilandasi oleh hati yang welas asih serta tulus kehadapan Sang Hyang Widhi beserta Prabhawa Nya, demikian pula dalam hal kita menerima anugerah dan karunia Nya.
Bunga, cukup sehelai. (Makna dan penjabarannya silahkan lihat dicatatan saya tentang "Sarana Inti Pemuspan Hindu Bali"
Garam sebagai simbol satwam : sifat kebijaksanaan.
Irisan bawang sebagai simbol tamas : sifat kemalasan.
Irisan jahe sebagai simbol rajas : sifat keserakahan.
Garam, bawang dan jahe adalah simbolis untuk mengembalikan Tri Guna (Satwam-Rajas-Tamas) kepada asalnya.
Menghaturkan canang sari yang terbaik adalah dilakukan pada pagi hari, caranya haturkan canang sari pada tempatnya (seperti rong pelinggih dsb) sesuaikan warna bunga dengan arah mata angin. Kemudian selipkan sebatang dupa, lalu percikkan air menggunakan bunga yang dipegang di tangan. Saat ngayab, pastikan menggunakan tangan kanan, kemudian bunga pada posisi antara jari telunjuk dan jari tengah sebagai simbolis Siwa di dalam raga kita. Gerakan ngayab harus lemah gemulai dari sisi luar belakang ke arah depan. Harap hanya menggunakan tangan, jangan menggunakan alat bantu lainnya seperti saab atau lainnya yang tidak ada maknanya dalam tattwa.
Menghaturkan canang sari di pagi hari adalah simbolis Utpeti agar dalam hari tersebut kita mendapat restu anugerah dan karunia Sang Hyang Widhi. Kemudian lanjutkan dengan kegiatan sehari-hari kita yang merupakan Stiti . Kemudian pada sore harinya Salikaon (setelah matahari terbenam) kita menghaturkan segehan sebagai simbolis Pralina, sebagai ucap syukur dan mempersembahkan atau mengembalikan semua yang kita lakukan pada hari tersebut ke hadapan Sang Hyang Widhi.
Cara menghaturkan segehan pun ada aturannya. Letakkan segehan pada tempatnya di bawah (tidak di rong pelinggih) sesuaikan warna nasi dengan arah mata angin. Kemudian selipkan sebatang dupa, lalu tuangkan Berem kemudian Arak berlawanan arah dengan jarum jam (ke kiri). Putaran ke kiri memiliki makna ke bawah (turun). Berem adalah simbol Ang dan Arak adalah Ah (lebih lengkapnya lihat catatan saya tentang "Makna Arak Berem"). Kemudian percikkan air menggunakan bunga yang dipegang di tangan. Kemudian ngayab seperti pada canang sari di atas. Sebagai penutupnya maka tuangkan kembali dengan urutan berbalik yaitu Arak kemudian Berem, searah dengan jarum jam (ke kanan). Putaran ke kanan memiliki makna ke atas (naik), ini simbolis ngeluhur yaitu mempersilahkan kekuatan Hyang Widhi untuk kembali kepada asalnya. Putaran bolak-balik ke kiri dan ke kanan ini pun simbolis dari kisah pemuteran Mandara Giri, untuk memohon dimancurkannya Tirtha Kehidupan (Panca Tirtha).
Canang sari sangat mudah didapatkan di pasar-pasar tradisional di Bali. Harganya beraneka ragam, namun umumnya tidak terlalu mahal.
Meski sederhana, canang sari sangat populer dan dibutuhkan di Bali. Selain itu, canang sari sangat cantik dan indah dipandang. Apalagi ditambah dupa di atasnya dan dicipratkan air suci, ada aura kesejukan yang dipancarkan dari canang sari
Canang sari umum dipakai sebagai persembahan sehari-hari. Sedangkan pada hari-hari besar keagamaan, canang sari hanya dipakai sebagai pelengkap saja. Pada hari-hari tersebut, masyarakat Bali memakai berbagai jenis sesajen dalam tingkat yang lebih tinggi, yang pembuatan dan aturan isinya jauh lebih rumit daripada canang sari.
Canang adalah pada dasarnya sebagai wujud dari perwakilan kita untuk menghadap kepada-Nya. Kalau kita dapat meresapi dan menghayati serta melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari, seperti apa yang terkandung dalam makna Canang sari di atas, pasti bhakti kita akan diterima oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa, dan kita dapat mengarungi kehidupan ini dengan damai sejahtera sekala niskala. Karena ketaqwaan seseorang beragama bukanlah dinilai dari seringnya mereka sembahyang atau menghaturkan persembahan yang mewah-mewah, melainkan sejauh mana mereka dapat merealisasikan dalam bentuk prilakunya dalam bermasyarakat. Karena suatu ajaran Agama tidak hanya cukup untuk diresapi ataupun dihayati saja, melainkan harus dipraktekan dalam kehidupan nyata sehari-hari di dalam masyarakat.
Sesuai penjelasan di atas, maka canang sari dan segehan tersebut mengandung simbul kekuatan Sang Hyang Panca Dewata. Maka sudah sepantasnya, dalam penyusunannya tidak boleh asal-asalan asal kelihatan seni atau ngawur apalagi berantakan, kita seharusnya memperhatikan makna dan tujuannya. Kekeliruan yang sering dan lumrah kita lihat dikeseharian adalah tidak memperhatikannya arah mata angin pada saat menghaturkan canang sari, yang mana seharusnya luanan (hulu) mana teben. Kekeliruan akan terakumulasi mulai dari susunan bunga pada canang yang tidak sesuai ditambah lagi saat menghaturkannya tidak memperhatikan arah mata angin. Misalnya, warna putih seharusnya ke arah timur justru dipasang di arah barat, kemudian merah seharusnya di selatan justru ke timur.
Pernah saya mendengar keluh kesah dari beberapa kesempatan, mereka mengatakan bahwa, sudah menghaturkan canang sari dan segehan setiap hari ternyata hidup saya dan keluarga masih kacau balau.
Ironis bukan, jika ditelusuri ternyata kekacauan itu ternyata bukan semata-mata dari luar kita. Memang kita mungkin sudah menghaturkan canang sari setiap hari, namun tidak sesuai tata cara dan aturan sesuai Tattwa-nya. Sehingga yang terjadi adalah, kita menghaturkan canang sari yang isinya kacau balau, arah yang tidak sesuai apalagi ditambah isi yang tidak lengkap. Dengan kata lain, kacau balau dan ketidak sesuaian arah dan kehidupan yang tidak lengkap itulah yang kita mohonkan sesuai seperti kita menghaturkan canang yang kacau balau.
Yang dihaturkan kacau balau, maka anugerah yang diberikan adalah kekacauan... bukankah ini telah sesuai?
Jadi salah siapa?
Menghaturkan canang sari yang terbaik adalah dilakukan pada pagi hari, caranya haturkan canang sari pada tempatnya (seperti rong pelinggih dsb) sesuaikan warna bunga dengan arah mata angin. Kemudian selipkan sebatang dupa, lalu percikkan air menggunakan bunga yang dipegang di tangan. Saat ngayab, pastikan menggunakan tangan kanan, kemudian bunga pada posisi antara jari telunjuk dan jari tengah sebagai simbolis Siwa di dalam raga kita. Gerakan ngayab harus lemah gemulai dari sisi luar belakang ke arah depan. Harap hanya menggunakan tangan, jangan menggunakan alat bantu lainnya seperti saab atau lainnya yang tidak ada maknanya dalam tattwa.
Menghaturkan canang sari di pagi hari adalah simbolis Utpeti agar dalam hari tersebut kita mendapat restu anugerah dan karunia Sang Hyang Widhi. Kemudian lanjutkan dengan kegiatan sehari-hari kita yang merupakan Stiti . Kemudian pada sore harinya Salikaon (setelah matahari terbenam) kita menghaturkan segehan sebagai simbolis Pralina, sebagai ucap syukur dan mempersembahkan atau mengembalikan semua yang kita lakukan pada hari tersebut ke hadapan Sang Hyang Widhi.
Cara menghaturkan segehan pun ada aturannya.
Letakkan segehan pada tempatnya di bawah (tidak di rong pelinggih) sesuaikan warna nasi dengan arah mata angin.
Kemudian selipkan sebatang dupa harum.
lalu tuangkan Berem kemudian Arak berlawanan arah dengan jarum jam (ke kiri). Putaran ke kiri memiliki makna ke bawah (turun). Berem adalah simbol Ang dan Arak adalah Ah (lebih lengkapnya lihat catatan saya tentang "Makna Arak Berem").
Kemudian percikkan air menggunakan bunga yang dipegang di tangan.
Kemudian ngayab seperti pada canang sari di atas.
Sebagai penutupnya maka tuangkan kembali dengan urutan berbalik yaitu Arak kemudian Berem, searah dengan jarum jam (ke kanan). Putaran ke kanan memiliki makna ke atas (naik), ini simbolis ngeluhur yaitu mempersilahkan kekuatan Hyang Widhi untuk kembali kepada asalnya. Putaran bolak-balik ke kiri dan ke kanan ini pun simbolis dari kisah pemuteran Mandara Giri, untuk memohon dimancurkannya Tirtha Kehidupan (Panca Tirtha).
Demikian secara singkat tentang ritual sehari-hari beserta maknanya sesuai Tattwa ajaran Hindu Bali, semoga bermanfaat.
Posting Komentar